Wednesday, January 31, 2018

Metodologi Studi Islam

A.    Pengertian Metodologi
Metodologi sering dikaitkan dengan kata-kata research atau penelitian, pengumpulan data atau cara memperoleh informasi, analisis data, kajian atau pendekatan, dan sebagainya.
Secara etimologi (bahasa);
a.       Secara etimologi, metodologi berasal dari kata method dan logos. Method berarti cara dan logos berarti ilmu. Secara sederhana metodologi berarti suatu ilmu atau teori yang membicarakan tentang cara.
b.      Studi berasal dari Bahasa inggris yaitu study, yang berarti mempelajari atau mengkaji.
c.       Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima dan aslama. Salima mengandung arti selamat, tunduk, dan berserah. Sedangkan aslama mengandung arti kepatuhan, ketundukan, dan berserah.
Secara terminology  (istilah);
1.      banyak pendapat yang mendefinisikan tentang metodologi, antara lain:
a.       Ahmad Tafsir, metodologi adalah cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini ilmu tentang cara studi islam.
b.      Abraham Kaflan, metodologi adalah pengkajian dengan penggambaran (deskripsi), penjelasan (explanasi), dan pembenaran (justifikasi). Ia berpendapat bahwa metodologi mengandung unsur-unsur yaitu pengkajian (study), penggambaran (deskripsi), penjelasan (explanasi), dan pembenaran (justifikasi).
c.       Anthony Flew yang dikutip oleh Wardi Bachtiar, mengatakan bahwa metodologi adalah suatu kajian tentang cara; yang dalam kajian itu dibicarakan prosedur-prosedur, tujuan dari ilmu itu sendiri, dan jalan yang harus dilakukan yang dengan jalan itu, ilmu itu dapat disusun. Jadi, metodologi adalah suatu proses dalam mencapai tujuan.
2.      Studi. Dalam hal ini pengkajian terhadap Islam secara ilmiah, baik islam sebagai sumber ajaran, pemahaman, maupun pengalaman.
3.      Islam. Islam merupakan nama sebuah agama samawi yang disampaikan melalui Rasulallah Muhammad SAW, untuk menjadi pedoman hidup mnusia.
4.      Kajian Islam atau dibarat terkenal dengan istilah islamic studies adalah usaha mendasar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk yangberhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya, maupun praktek-praktek pelaksanaanya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarah.
5.      Metodologi Studi Islam adalah prosedur yang ditempuh secara ilmiah, cepat dan tepat dalam mempelajari Islam secara luas dalam berbaga atau teori yang membicarakani aspek-aspeknya, baik dari segi sumber ajaran, pemahaman terhadap sumber maupun sejarahnya, serta berbagai alirannya.
6.      Metode dibutuhkan dalam melakukan sesuatu penelitian. Ilmu yang mempelajari metode tersebut dengan metodologi. Jadi, metodologi Studi Islam merupakan ilmu yang mengkaji tentang metode-metode pendekatan-pendekatan, yang digunakan penelitian terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan Islam.[1]
Ruang lingkup studi Islam yaitu agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi, antara lain:
a)      Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.
b)      Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
c)      Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat Islam.
Bila Islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi Islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan penelitian di dalamnya.

B.     Kegunaan Metodologi
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah untuk umat manusia. Ajaran Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa tertentu, melainkan sebagai rahmatan lill ‘alamin. Untuk memahami ajaran Islam harus utuh dan komprehensif. Ajaran agama yang secara idealnya adalah petunjuk bagi umat manusia, secara ideal pula harus mengikuti perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Sebab, apabila ajaran agama tidak mengikuti perkembangan kehidupan manusia maka ajaran agama itu tidak akan menjadi petunjuk lagi bagi manusia itu. Dengan kata lain, agama tersebut akan ditinggalkan oleh umat manusia. Oleh sebab itu, diperlukan metodologi yang di dalamnya membahas mengenai berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam studi Islam. 
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 sampai saat ini, pemahaman umat Islam terhadap ajarannya masih bersifat variatif. Kondisi serupa ini mungkin saja tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi bisa juga terjadi di negara-negara muslim lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi itu merupakan sesuatu yang alami dan harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah memerlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu. Dengan demikian, walaupun keadaannya amat bervariasi, pemahaman tersebut tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.[2]
Sebagai contoh, kita pasti pernah melihat banyak ahli dari umat Islam yang pengetahuan tentang agamanya cukup luas dan mendalam, namun ilmunya tidak terorganisasi dengan baik. Mereka biasanya mendapatkan ajaran keislamannya secara otodidak atau berguru kepada berbagai guru yang satu sama lain tidak pernah bertemu dan tidak pula mempunyai satu acuan ataupun kurikulum yang sama.
Di samping itu, pasti ada juga ahli dari kalangan umat Islam yang menguasai secara mendalam satu bidang ilmu keislaman, namun kurang begitu memahami bidang ilmu lainnya. Misalnya, seseorang hanya memahami ilmu fiqh sehingga ketika ditanya tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, ia hanya memandangnya dari sudut hukum fiqh saja. Padahal dalam menyelesaikan masalah tersebut diperlukan juga bidang ilmu lainnya. Begitu pun bagi orang yang hanya memahami ilmu teologi. Ia pun pasti hanya melihat sesuatu dari pradigma teologi. Teologi tersebut biasanya hanya dari satu aliran saja, seperti Asy’ariyah atau Maturidiyah sehingga ia mengkafirkan aliran teologi lainnya.  
Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini pemahaman umat terhadap ajarannya masih bersifat parsial, belum utuh secara komprehensif. Sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh dan komprehensif, hal tersebut belum tersosialisasikan keseluruh masyarakat Islam. Sebab, hanya diserap oleh kalangan tertentu –dalam hal ini kalangan terpelajar- yang secara kebetulan menyediakan waktu untuk membaca karya-karya tersebut.[3]
Kita tidak bisa menyalahkan kondisi seperti ini, karena pengajaran Islam selama ini belum tersusun secara sistematis dan belum tersampaikan menurut prinsip, pendekatan, dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun, untuk kepentingan akademis dan untuk membuat Islam lebih responsif dalam merespon permasalahan umat manusia saat ini, maka perlu dan mendesak untuk memahami metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang sangat utuh dan komprehensif. Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi merupakan masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Oleh karena itu, kemampuan dalam menguasi materi keilmuan harus dibarengi dengan kemampuan penguasaan metodologi sehingga pengetahuan yang dimiliki dapat dikembangkan. 

C.    Metode Memahami Islam
Banyak orang yang menyamakan istilah antara metode dan metodologi, padahal diantara kedua itu memiliki pengertian yang berbeda diantarnya:
Metode:
1)      Merupakan langkah – langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu – ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi (aplikatif).
2)      Dianggap sudah bisa mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut.
3)      Tidak ada perdebatan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan.
4)      Tidak menjadi bagian dari sistematika filsafat.
Metodologi:
1)      Merupakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan.
2)      Terbuka luas untuk mengkaji, dapat di perdebatkan(disputable) dan merefleksi cara kerja suatu ilmu.
3)      Tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima tetapi berupa kajian tentang metode.
4)      Metodologi juga menjadi bagian dari sistematika filsafat.[4]
Islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek, setiap orang dapat menemukan sudut pandang yang paling tepat sesuai dengan pandangannya. Dengan kata lain, Ali Syari’ati mengajak kepada seluruh intelektual muslim dengan disiplin ilmu yang dimilikinya masing-masing agar digunakan untuk memahami ajaran Islam dengan berpedoman pada Al-Quran. Para sosiolog, sebagaimana halnya Ali Syari’at, sejarawan, budayawan, sastrawan, dan sebagainya, dapat menggunakan keahliannya untuk memahami ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah.[5]
Dalam mempelajari ajaran Islam diperlukan sebuah metodologi agar ilmu tersebut dapat tersistematis dengan baik. Melihat pentingnya sebuah metodologi dalam memahami islam banyak ahli yang mencoba untuk menjelaskan metodologi dalam mempelajari Islam tersebut salah satu ahli yang serius mengupas masalah metodologi adalah Ali Syari’ati. Ia mengatakan “ada berbagai metodi untuk memahami Islam” yaitu:
a.       Mengenal Allah dan membandingkannya dengan sesembahan agam-agama lain.
b.      Mempelajari kitab al-Quran dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan samawi) lainnya.
c.       Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan, yang pennah hidup dalam sejarah.
d.      Mempelajari tokoh-tokoh utama Agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.[6]
Dari seluruh cara yang ditawarkan oleh Syari’ati ini, pada intinya yang tepat adalah cara kompratif (perbandingan), karna dengan cara kompratif ini kita dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Di samping menggunakan metode komparasi Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam aliran ini, ia mengatakan tugas hari ini adalah mempelajari dan memahami islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektelektual dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi. Apapun bidang studinya, dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Karna Islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek. Setiap orang dapat menemukan sudut pandang yang paling tepat dengan pandangannya. Dengan kata lain, Ali Syari’ati mengajak kepada seluruh intelektual Muslim dengan disiplin ilmu yag dimilikinya masing-masing untuk memahami ajaran Islam dengan berpedoman pada al-Quran.
Selain Ali Syari’ati, terdapat pula ahli yang mencoba menawarkan metodologi dalammemahami Islam secara menyeluruh yaitu nasruddin razak. Ia berpendapat bahwa memahami Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun pemahaman tersebut tidak secara menyeluruh adalah penting walaupun pemahaman tersebut tidak secara mendetail. Untuk memahami Islam secara benar, Nasruddin Razak mengajukan empat cara.
1.      Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah S.A.W kekeliruan memahami Islam sering disebabkan orang hanya mengenal dari sebagian ulama dan pemeluknya yag telah jauh dari bmbingan al-Quran dan as-Sunnah dan melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semanagatnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme. Hidup penuh bid’ah dan khurafat yakni telah tercampur dengan hal-hal yang tidak islami, jauh dari ajaran Islam murni.
2.      Islam harus dipelajari secara integral, tidak secara persial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat. Memahami Islam secara persial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, kebimbagan dan keraguan.
3.      Islam pelu dipelajari dari keputusan yang ditulis oleh para ulama besar, kaun zu’ama dan sarjana-sarjana Islam karna pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan Ilmu yang dalam terhadap al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari.
4.      Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam al-Quran baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian, dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara islam berada pada dataran normatif teologis yang ada dalam al-Quran dengan Islam yang ada dalam dataran historis, sosiologis dan empiris. Kesalahan semnetara orang, ialah mempelajari kenyataan umat islam an sich bukan agama Islam yang mempelajarinya. Sikap konservatif sebagian golongan Islam keterbelakangan dibidang pendidikan, keawaman, kebodohan, disintegrasi dan kemiskinan masyarakat Islam itulah yang dinilai sebagai Islamnya sendiri. Mengambil kesimpulan tentang citra Islam berdasarkan sampel yang tidak valid dan representatif dapat menyebabkan wajah Islam tampil kurang pas, bahkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.[7]
Metode studi Islam secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.      Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkan aspek sejarah. Metode diakronis disebut juga metode sosiohisoris, yakni suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan, dan lingkungan dimana kepercayaan, sejarah atau kejadian itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman, dan penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya, yakni Al-Qur’an dan as-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya di samping sirah Nabi Muhammad SAW dengan segalaalam pikirannya.[8]
2.      Metode Sinkronis-Analitis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental-intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoretis.
Metode diakronis dan metode sinkronis-analitis menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
a.       Islam adalah agama wahyu Ilahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia. (QS. Al-Najm: 3-4).
b.      Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya. (QS. Al-Maidah: 3).
c.       Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta komponen dengan bagian-bagiannya dan secarakeselurhan merupakan suatu struktur yang unik. (QS. Al-Maidah).
d.      Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada makruf dan nahi munkar. (QS. Ali Imran: 104).
e.       Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengan jalan yang hikmah dan penuh kebijaksanaan. (QS. An-Nahl: 125).
f.       Wajib bagi umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam kepada orang lain menurut kemampuannya.
g.      Wajib bagi sebagian umat Islam untuk memperdalam ajaran agama Islam. (QS.  At-Taubah: 122).
3.      Metode Problem Solving (hill al-musykilat)
Suatu metode mempelajari Islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya. Metode inimerupakan cara penguasaan keterampilan daripada pengembanan mental-intelektual, sehingga memiliki kelemahan, yakni perkembangan pemikiran umat Islam mungkin hanya terbatas pada kerangka yang sudah tetap dan akhirnya bersifat mekanistis.
4.      Metode Empiris (tajribiyyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi social, kemudian secara deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu system norma baru. Proses ini selanjutnya berjalan dalam suatu putaran yang radiusnya makin lama makin berkembang, sehingga keuntungan metode ini  adalah umat Islam tidak hanya memiliki kemampuan secara teoretis-normatif, tetapi juga adanya pengembanan deskriptif inovatis beserta aplikasinya dalam kehidupan nyata.
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
a.       Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam. (QS. Ali Imran: 104).
b.      Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah. (QS. Al-Fath: 29).
c.       Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat. (QS. As-Syura: 13).
d.      Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan. (QS. Al-Baqarah: 120, At-Taubah: 122).
e.       Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif. (QS. Fushilat: 53).
5.      Metode Deduktif (al-Manhaj al-Istinbathiyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis, dan selajutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah-masalah yang dihadapi. Metode ini dipakai untuk sarana meng-istinbath-kan hukum-hukum syara’, dan kaidah-kaidah itu benar-benar bersifat penentu dalam masalah-masalah furu’ tanpa menghiraukan sesuai tidaknya dengan paham mazhabnya. Dengan kata lain, furu’ harus tunduk pada kaidah-kaidah, bukan sebaliknya.
6.      Metode Induktif (al-Istiqraiyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Metode pengajiannya dimulai dari masalah-masalah khusus, lalu dianalisis, kemudian disusun kaidah hukum dengan catatan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya. Walaupun kaidah-kaidah itu sudah dirumuskan dan diterapkan, namun bukan merupakan sarana yang bersifat penentu terhadap hukum furu’nya.
Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat tahap, yaitu:
a.       Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik pikiran yang umum.
b.      Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya bahasan yang tidak relevan.
c.       Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya.
d.      Dan implikasi formulasi yang baru tersebut.
Sebagian para ahli memadukan metode induktif dan metode deduktif dengan cara menyusun kaidah-kaidah dahulu kemudian baru diterapkan dan disesuaikan dengan furu’ menurut mazhabnya, karena pada taraf operasionalnya kedua metode tersebut tidak dapat dipisahkan.[9]
Dari beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1)      Metode komparasi, yaitu suatu metode untuk memahami ajaran Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam berbagai bidang.[10]
2)      Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode logis normative dan brsifat rasional , obyektif, dan kritis dengan metode teologis-normatif.[11]
Masih banyak metode lainnya yang ditawarkan oleh para ahli, dengan metode tersebut, umat Islam bisa mempelajari ajaran agamanya secara menyeluruh dan terorganisasi dengan baik, dengan demikian Islam bukan hanya bisa mengatasi masalah-masalah teologis, namun juga bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada dimasyarakat luas.








[1] Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 21-22.
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 95.
[3] Rosihon Anwar, et.al., Pengantar Studi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 67.
[4] Muhyar Fanani. Metode Studi Islam. (Pustaka Pelajar:  Yogyakarta, 2008), pengantar hlm. ix paragraf 2.
[5] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 106.
[6] Ali Syari’at, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifulah Mahyuddin, dari judul asli On The Sociology of Islam (Yogyakarta: Amanda, 1982), hlm. 72.
[7] Rosihon Anwar, et.al., Pengantar Studi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 69-70.
[8] H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 233.
[9] Muhaimin, et.al., Studi Islam Dalam Ragam Dimensi Dan Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 18.
[10] Abudin Nata. Metode Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm .160. Lihat juga Awaludin Pimay dan Ilyas Supena. Pendekatan Studi Islam (Semarang: Penerbit Gunung Jati, 2008), hlm. 55-56.
[11] Ibid., hlm.160.

No comments:

Post a Comment