A.
Pengertian Metodologi
Metodologi
sering dikaitkan dengan kata-kata research atau penelitian, pengumpulan
data atau cara memperoleh informasi, analisis data, kajian atau pendekatan, dan
sebagainya.
Secara etimologi (bahasa);
a.
Secara etimologi, metodologi berasal dari kata method dan
logos. Method berarti cara dan logos berarti ilmu. Secara
sederhana metodologi berarti suatu ilmu atau teori yang membicarakan tentang
cara.
b.
Studi berasal dari Bahasa inggris yaitu study, yang berarti
mempelajari atau mengkaji.
c.
Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima dan aslama.
Salima mengandung arti selamat, tunduk, dan berserah. Sedangkan aslama
mengandung arti kepatuhan, ketundukan, dan berserah.
1.
banyak pendapat yang mendefinisikan tentang metodologi, antara
lain:
a.
Ahmad Tafsir, metodologi adalah cara yang paling cepat dan tepat
dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini ilmu tentang cara studi islam.
b.
Abraham Kaflan, metodologi adalah pengkajian dengan penggambaran (deskripsi),
penjelasan (explanasi), dan pembenaran (justifikasi). Ia
berpendapat bahwa metodologi mengandung unsur-unsur yaitu pengkajian (study),
penggambaran (deskripsi), penjelasan (explanasi), dan pembenaran
(justifikasi).
c.
Anthony Flew yang dikutip oleh Wardi Bachtiar, mengatakan bahwa
metodologi adalah suatu kajian tentang cara; yang dalam kajian itu dibicarakan
prosedur-prosedur, tujuan dari ilmu itu sendiri, dan jalan yang harus dilakukan
yang dengan jalan itu, ilmu itu dapat disusun. Jadi, metodologi adalah suatu
proses dalam mencapai tujuan.
2.
Studi. Dalam hal ini pengkajian terhadap Islam secara ilmiah, baik
islam sebagai sumber ajaran, pemahaman, maupun pengalaman.
3.
Islam. Islam merupakan nama sebuah agama samawi yang disampaikan
melalui Rasulallah Muhammad SAW, untuk menjadi pedoman hidup mnusia.
4.
Kajian Islam atau dibarat terkenal dengan istilah islamic
studies adalah usaha mendasar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami
serta membahas secara mendalam seluk beluk yangberhubungan dengan agama Islam,
baik ajaran-ajarannya, sejarahnya, maupun praktek-praktek pelaksanaanya secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarah.
5.
Metodologi Studi Islam adalah prosedur yang ditempuh secara ilmiah,
cepat dan tepat dalam mempelajari Islam secara luas dalam berbaga atau teori
yang membicarakani aspek-aspeknya, baik dari segi sumber ajaran, pemahaman
terhadap sumber maupun sejarahnya, serta berbagai alirannya.
6.
Metode dibutuhkan dalam melakukan sesuatu penelitian. Ilmu yang
mempelajari metode tersebut dengan metodologi. Jadi, metodologi Studi Islam
merupakan ilmu yang mengkaji tentang metode-metode pendekatan-pendekatan, yang
digunakan penelitian terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan Islam.[1]
Ruang
lingkup studi Islam yaitu agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari
segi sisi, antara lain:
a) Sebagai
doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti
absolute, dan diterima apa adanya.
b) Sebagai
gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya
dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
c) Sebagai
interaksi sosial, yaitu realitas umat Islam.
Bila Islam dilihat dari tiga sisi,
maka ruang lingkup studi Islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena
sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini
tidak memerlukan penelitian di dalamnya.
B.
Kegunaan Metodologi
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah untuk umat manusia.
Ajaran Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa tertentu,
melainkan sebagai rahmatan lill ‘alamin. Untuk memahami ajaran Islam
harus utuh dan komprehensif. Ajaran agama yang secara idealnya adalah petunjuk
bagi umat manusia, secara ideal pula harus mengikuti perkembangan kehidupan
manusia itu sendiri. Sebab, apabila ajaran agama tidak mengikuti perkembangan
kehidupan manusia maka ajaran agama itu tidak akan menjadi petunjuk lagi bagi
manusia itu. Dengan kata lain, agama tersebut akan ditinggalkan oleh umat
manusia. Oleh sebab itu, diperlukan metodologi yang di dalamnya membahas
mengenai berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam studi Islam.
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 sampai saat ini, pemahaman
umat Islam terhadap ajarannya masih bersifat variatif. Kondisi serupa ini mungkin
saja tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi bisa juga terjadi di
negara-negara muslim lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi itu
merupakan sesuatu yang alami dan harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk
diambil hikmahnya, ataukah memerlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan
dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu. Dengan
demikian, walaupun keadaannya amat bervariasi, pemahaman tersebut tidak keluar
dari ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta sejalan dengan
data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.[2]
Sebagai contoh, kita pasti pernah melihat banyak ahli dari umat
Islam yang pengetahuan tentang agamanya cukup luas dan mendalam, namun ilmunya
tidak terorganisasi dengan baik. Mereka biasanya mendapatkan ajaran
keislamannya secara otodidak atau berguru kepada berbagai guru yang satu sama
lain tidak pernah bertemu dan tidak pula mempunyai satu acuan ataupun kurikulum
yang sama.
Di samping itu, pasti ada juga ahli dari kalangan umat Islam yang
menguasai secara mendalam satu bidang ilmu keislaman, namun kurang begitu
memahami bidang ilmu lainnya. Misalnya, seseorang hanya memahami ilmu fiqh
sehingga ketika ditanya tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat,
ia hanya memandangnya dari sudut hukum fiqh saja. Padahal dalam menyelesaikan
masalah tersebut diperlukan juga bidang ilmu lainnya. Begitu pun bagi orang
yang hanya memahami ilmu teologi. Ia pun pasti hanya melihat sesuatu dari pradigma
teologi. Teologi tersebut biasanya hanya dari satu aliran saja, seperti
Asy’ariyah atau Maturidiyah sehingga ia mengkafirkan aliran teologi
lainnya.
Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini
pemahaman umat terhadap ajarannya masih bersifat parsial, belum utuh secara
komprehensif. Sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh
dan komprehensif, hal tersebut belum tersosialisasikan keseluruh masyarakat
Islam. Sebab, hanya diserap oleh kalangan tertentu –dalam hal ini kalangan
terpelajar- yang secara kebetulan menyediakan waktu untuk membaca karya-karya
tersebut.[3]
Kita tidak bisa menyalahkan kondisi seperti ini, karena pengajaran
Islam selama ini belum tersusun secara sistematis dan belum tersampaikan menurut
prinsip, pendekatan, dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun, untuk
kepentingan akademis dan untuk membuat Islam lebih responsif dalam merespon
permasalahan umat manusia saat ini, maka perlu dan mendesak untuk memahami
metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang sangat utuh dan
komprehensif. Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi merupakan masalah
yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Oleh karena itu, kemampuan
dalam menguasi materi keilmuan harus dibarengi dengan kemampuan penguasaan
metodologi sehingga pengetahuan yang dimiliki dapat dikembangkan.
C.
Metode Memahami Islam
Banyak orang yang menyamakan istilah
antara metode dan metodologi, padahal diantara kedua itu memiliki pengertian
yang berbeda diantarnya:
Metode:
1) Merupakan
langkah – langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu – ilmu tertentu
yang sudah tidak dipertanyakan lagi (aplikatif).
2) Dianggap
sudah bisa mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut.
3) Tidak
ada perdebatan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan.
4) Tidak
menjadi bagian dari sistematika filsafat.
Metodologi:
1) Merupakan
kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan.
2) Terbuka
luas untuk mengkaji, dapat di perdebatkan(disputable)
dan merefleksi cara kerja suatu ilmu.
3) Tidak
lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima tetapi berupa kajian tentang
metode.
4) Metodologi
juga menjadi bagian dari sistematika filsafat.[4]
Islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek, setiap orang dapat
menemukan sudut pandang yang paling tepat sesuai dengan pandangannya. Dengan
kata lain, Ali Syari’ati mengajak kepada seluruh intelektual muslim dengan
disiplin ilmu yang dimilikinya masing-masing agar digunakan untuk memahami
ajaran Islam dengan berpedoman pada Al-Quran. Para sosiolog, sebagaimana halnya
Ali Syari’at, sejarawan, budayawan, sastrawan, dan sebagainya, dapat
menggunakan keahliannya untuk memahami ajaran Islam yang bersumber pada
Al-Quran dan As-Sunnah.[5]
Dalam
mempelajari ajaran Islam diperlukan sebuah metodologi agar ilmu tersebut dapat
tersistematis dengan baik. Melihat pentingnya sebuah metodologi dalam memahami
islam banyak ahli yang mencoba untuk menjelaskan metodologi dalam mempelajari Islam
tersebut salah satu ahli yang serius mengupas masalah metodologi adalah Ali
Syari’ati. Ia mengatakan “ada berbagai metodi untuk memahami Islam” yaitu:
a.
Mengenal Allah dan membandingkannya dengan sesembahan agam-agama
lain.
b.
Mempelajari kitab al-Quran dan membandingkannya dengan kitab-kitab
samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan samawi) lainnya.
c.
Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan
tokoh-tokoh besar pembaharuan, yang pennah hidup dalam sejarah.
d.
Mempelajari tokoh-tokoh utama Agama maupun aliran-aliran pemikiran
lain.[6]
Dari seluruh
cara yang ditawarkan oleh Syari’ati ini, pada intinya yang tepat adalah cara
kompratif (perbandingan), karna dengan cara kompratif ini kita dapat mengetahui
kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Di samping
menggunakan metode komparasi Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam
melalui pendekatan aliran. Dalam aliran ini, ia mengatakan tugas hari ini
adalah mempelajari dan memahami islam sebagai aliran pemikiran yang
membangkitkan membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat,
dan bahwa sebagai intelektelektual dia memikul amanah demi masa depan umat
manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi.
Apapun bidang studinya, dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar
tentang Islam dan tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Karna Islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek. Setiap orang dapat menemukan
sudut pandang yang paling tepat dengan pandangannya. Dengan kata lain, Ali
Syari’ati mengajak kepada seluruh intelektual Muslim dengan disiplin ilmu yag
dimilikinya masing-masing untuk memahami ajaran Islam dengan berpedoman pada
al-Quran.
Selain Ali
Syari’ati, terdapat pula ahli yang mencoba menawarkan metodologi dalammemahami
Islam secara menyeluruh yaitu nasruddin razak. Ia berpendapat bahwa memahami
Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun pemahaman tersebut tidak secara
menyeluruh adalah penting walaupun pemahaman tersebut tidak secara mendetail.
Untuk memahami Islam secara benar, Nasruddin Razak mengajukan empat cara.
1.
Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu al-Quran dan
as-Sunnah Rasulullah S.A.W kekeliruan memahami Islam sering disebabkan orang
hanya mengenal dari sebagian ulama dan pemeluknya yag telah jauh dari bmbingan
al-Quran dan as-Sunnah dan melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan
tasawuf yang semanagatnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Mempelajari islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai
pemeluk Islam yang sinkretisme. Hidup penuh bid’ah dan khurafat yakni telah
tercampur dengan hal-hal yang tidak islami, jauh dari ajaran Islam murni.
2.
Islam harus dipelajari secara integral, tidak secara persial,
artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat.
Memahami Islam secara persial akan membahayakan, menimbulkan skeptis,
kebimbagan dan keraguan.
3.
Islam pelu dipelajari dari keputusan yang ditulis oleh para ulama
besar, kaun zu’ama dan sarjana-sarjana Islam karna pada umumnya mereka memiliki
pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan Ilmu yang
dalam terhadap al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah
dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari.
4.
Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis
yang ada dalam al-Quran baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis,
empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian, dapat
diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara islam berada pada dataran normatif
teologis yang ada dalam al-Quran dengan Islam yang ada dalam dataran
historis, sosiologis dan empiris. Kesalahan semnetara orang, ialah mempelajari
kenyataan umat islam an sich bukan agama Islam yang mempelajarinya.
Sikap konservatif sebagian golongan Islam keterbelakangan dibidang pendidikan,
keawaman, kebodohan, disintegrasi dan kemiskinan masyarakat Islam itulah yang
dinilai sebagai Islamnya sendiri. Mengambil kesimpulan tentang citra Islam
berdasarkan sampel yang tidak valid dan representatif dapat menyebabkan wajah
Islam tampil kurang pas, bahkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.[7]
Metode studi Islam secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1.
Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkan aspek sejarah. Metode
diakronis disebut juga metode sosiohisoris, yakni suatu metode pemahaman
terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan melihatnya sebagai
suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat,
kebudayaan, golongan, dan lingkungan dimana kepercayaan, sejarah atau kejadian
itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman, dan
penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya, yakni Al-Qur’an dan
as-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya di samping sirah
Nabi Muhammad SAW dengan segalaalam pikirannya.[8]
2.
Metode Sinkronis-Analitis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis
teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental-intelek umat
Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi
juga mengutamakan telaah teoretis.
Metode
diakronis dan metode sinkronis-analitis menggunakan asumsi dasar sebagai
berikut:
a.
Islam adalah agama wahyu Ilahi yang berlainan dengan kebudayaan
sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia. (QS. Al-Najm: 3-4).
b.
Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya. (QS.
Al-Maidah: 3).
c.
Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan
subsistem serta komponen dengan bagian-bagiannya dan secarakeselurhan merupakan
suatu struktur yang unik. (QS. Al-Maidah).
d.
Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada makruf dan nahi munkar.
(QS. Ali Imran: 104).
e.
Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah
dengan jalan yang hikmah dan penuh kebijaksanaan. (QS. An-Nahl: 125).
f.
Wajib bagi umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam kepada orang
lain menurut kemampuannya.
g.
Wajib bagi sebagian umat Islam untuk memperdalam ajaran agama
Islam. (QS. At-Taubah: 122).
3.
Metode Problem Solving (hill al-musykilat)
Suatu metode
mempelajari Islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai
masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya. Metode
inimerupakan cara penguasaan keterampilan daripada pengembanan
mental-intelektual, sehingga memiliki kelemahan, yakni perkembangan pemikiran
umat Islam mungkin hanya terbatas pada kerangka yang sudah tetap dan akhirnya
bersifat mekanistis.
4.
Metode Empiris (tajribiyyah)
Suatu metode
mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui
proses realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam
dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi social, kemudian
secara deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu system norma
baru. Proses ini selanjutnya berjalan dalam suatu putaran yang radiusnya makin
lama makin berkembang, sehingga keuntungan metode ini adalah umat Islam tidak hanya memiliki
kemampuan secara teoretis-normatif, tetapi juga adanya pengembanan deskriptif
inovatis beserta aplikasinya dalam kehidupan nyata.
Metode problem
solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
a.
Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan
diterangkan dalam Islam. (QS. Ali Imran: 104).
b.
Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah. (QS.
Al-Fath: 29).
c.
Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan
akhirat. (QS. As-Syura: 13).
d.
Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan. (QS. Al-Baqarah: 120,
At-Taubah: 122).
e.
Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif. (QS. Fushilat:
53).
5.
Metode Deduktif (al-Manhaj al-Istinbathiyyah)
Suatu metode memahami
Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis, dan
selajutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah-masalah
yang dihadapi. Metode ini dipakai untuk sarana meng-istinbath-kan
hukum-hukum syara’, dan kaidah-kaidah itu benar-benar bersifat penentu
dalam masalah-masalah furu’ tanpa menghiraukan sesuai tidaknya dengan
paham mazhabnya. Dengan kata lain, furu’ harus tunduk pada
kaidah-kaidah, bukan sebaliknya.
6.
Metode Induktif (al-Istiqraiyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah
hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan
dengan mazhabnya terlebih dahulu. Metode pengajiannya dimulai dari
masalah-masalah khusus, lalu dianalisis, kemudian disusun kaidah hukum dengan
catatan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya. Walaupun
kaidah-kaidah itu sudah dirumuskan dan diterapkan, namun bukan merupakan sarana
yang bersifat penentu terhadap hukum furu’nya.
Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat
tahap, yaitu:
a.
Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik pikiran
yang umum.
b.
Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan
masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya
bahasan yang tidak relevan.
c.
Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya.
d.
Dan implikasi formulasi yang baru tersebut.
Sebagian para
ahli memadukan metode induktif dan metode deduktif dengan cara menyusun
kaidah-kaidah dahulu kemudian baru diterapkan dan disesuaikan dengan furu’
menurut mazhabnya, karena pada taraf operasionalnya kedua metode tersebut tidak
dapat dipisahkan.[9]
Dari
beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis
besar, yaitu:
1)
Metode komparasi, yaitu suatu metode
untuk memahami ajaran Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam dengan
agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Dalam
komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda dengan agama-agama
lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam
berbagai bidang.[10]
2)
Metode sintesis, yaitu metode
memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode logis normative dan
brsifat rasional , obyektif, dan kritis dengan metode teologis-normatif.[11]
Masih banyak
metode lainnya yang ditawarkan oleh para ahli, dengan metode tersebut, umat
Islam bisa mempelajari ajaran agamanya secara menyeluruh dan terorganisasi
dengan baik, dengan demikian Islam bukan hanya bisa mengatasi masalah-masalah
teologis, namun juga bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada dimasyarakat
luas.
[1] Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam (Yogyakarta: Teras,
2013), hlm. 21-22.
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 2002), hlm. 95.
[3] Rosihon Anwar, et.al., Pengantar Studi Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2014), hlm. 67.
[4] Muhyar Fanani. Metode Studi
Islam. (Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
2008), pengantar hlm. ix paragraf 2.
[5] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 2002), hlm. 106.
[6] Ali Syari’at, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifulah
Mahyuddin, dari judul asli On The Sociology of Islam (Yogyakarta: Amanda,
1982), hlm. 72.
[7] Rosihon Anwar, et.al., Pengantar Studi Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2014), hlm. 69-70.
[8] H. A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini
(Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 233.
[9] Muhaimin, et.al., Studi Islam Dalam Ragam Dimensi Dan Pendekatan
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 18.
[10] Abudin Nata. Metode Studi
Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm .160. Lihat juga
Awaludin Pimay dan Ilyas Supena. Pendekatan
Studi Islam (Semarang: Penerbit Gunung Jati, 2008), hlm. 55-56.
[11] Ibid., hlm.160.
No comments:
Post a Comment